JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom dari Ekonit, Hendry Saparini, mengajak masyarakat menilai dengan jujur apakah rekam jejak kinerja Wapres dan Menkeu Sri Mulyani benar-benar berkilau, sebagaimana yang didengung-dengungkan sebagai orang yang bersih dan reformis.
"Marilah kita menilai dengan jujur. Apakah rekam jejak kinerja Boediono dan Sri Mulyani memang benar-benar kinclong atau sebaliknya," kata Hendry Saparini dalam diskusi Memprediksi rekomendasi akhir pansus di Rumah Perubahan Jakarta, Minggu (28/2/2010).
Menurut Hendry, pada detik-detik terakhir mejelang paripurna DPR soal kasus Bank Century (BC), selain dilakukan lobi-lobi politik juga ada upaya membalikkan kesimpulan pansus yang menyalahkan kebijakan bailout BC dengan menyederhanakan alasan bahwa ada kelompok yang ingin melengserkan Boediono-Sri Mulyani.
Sementara, figur Boediono dan Sri Mulyano digambarkan sebagai sosok yang bersih, yang ingin mereformasi birokrasi dan mengelola ekonomi dengan baik.
Imagi bersih dan reformis tersebut, ujar Hendry, telah didegung-degungkan dan digunakan untuk memporak-porandakan temuan Pansus dalam kasus BC.
Pansus, katanya, berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang ada telah mengindikasikan Boediono dan Sri Mulyani melakukan pelanggaran hukum dan kebijakan untuk memuluskan kebijakan bailout Bank Century.
"Mungkin benar keduanya (Boediono-Sri Mulyani) tidak menerima uang, tetapi sangat mungkin akan mendapatkan keuntungan non-finansial dari kebijakannya tersebut," kata Hendry dengan nada tinggi.
Menurut Hendry, cerita yang terus diulang-ulang yang menyatakan Boediono dan Sri Mulyani adalah sosok yang bersih dan reformis merupakan senjata pamungkas dari pemerintah untuk bisa bertahan.
Hal itu juga sebagai upaya kelompok pendukung Boediono-Sri Mulyani untuk mempertahankan paradigma.
"Yang menjadi pertanyaan sekarang, benarkah Boediono dan Sri Mulyani kinerjanya sangat luar biasa sehingga pelanggaran dalam kebijakan publik harus dimaklumi," kata Hendry.
Menurut Hendry, saat Boediono menjadi Gubernur Bank Indonesia telah ikut menelorkan kebijakan BLBI yang merugikan anggaran negara paling tidak selama 30 tahun.
Sementara saat menjadi Menkeu, Boediono telah membiarkan terjadinya privatisasi dan mengeluarkan kebijakan release and discharge, yang merugikan negara.
"Saat menjadi Menko Perekonomian, kebijakan yang diambil Boediono telah mengabaikan sektor riil," kata Hendry.
Sementara kinerja Menkeu Sri Mulyani, menurut Hendry, sebelum kesalahan kebijakan dalam kasus Bank Century terbuka, tidak sekinclong imagi yang diciptakan.
"Tugas utama Sri Mulyani sebagai Menkeu adalah mengelola APBN. Apa yang terjadi selama lima tahun APBN naik hampir tiga kali lipat, tetapi kesejahteraan masyarakat tidak juga meningkat," kata Hendry.
Sementara, pengelolaan belanja APBN masih sangat lemah sehingga realisasinya menumpuk di belakang, sehingga mengurangi kemampuan stimulusnya.
"Kelemahan ini akhirnya menghasilkan SILPA yang besar. Di sisi lain selama Sri Mulyani menjadi Menkeu APBN semakin dibiayai dengan high cost debt," kata Hendry.
Hendry menjelaskan SBN bruto yang pada tahun 2004 hanya sebesar Rp 32 triliun, terus meningkat dan tahun ini hampir mencapai Rp 180 triliun.
"Dengan rekam jejak seperti itu, apakah pantas kinerja Boediono dan Sri Mulyani dibilang sukses dan kinclong," ujarnya.
"Dengan track record di atas, apakah layak untuk dikatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani telah berhasil mengelola ekonomi Indonesia dengan baik," kata Hendry.
Artikel Ini Dikutip Dari : www.news.yahoo.com
"Marilah kita menilai dengan jujur. Apakah rekam jejak kinerja Boediono dan Sri Mulyani memang benar-benar kinclong atau sebaliknya," kata Hendry Saparini dalam diskusi Memprediksi rekomendasi akhir pansus di Rumah Perubahan Jakarta, Minggu (28/2/2010).
Menurut Hendry, pada detik-detik terakhir mejelang paripurna DPR soal kasus Bank Century (BC), selain dilakukan lobi-lobi politik juga ada upaya membalikkan kesimpulan pansus yang menyalahkan kebijakan bailout BC dengan menyederhanakan alasan bahwa ada kelompok yang ingin melengserkan Boediono-Sri Mulyani.
Sementara, figur Boediono dan Sri Mulyano digambarkan sebagai sosok yang bersih, yang ingin mereformasi birokrasi dan mengelola ekonomi dengan baik.
Imagi bersih dan reformis tersebut, ujar Hendry, telah didegung-degungkan dan digunakan untuk memporak-porandakan temuan Pansus dalam kasus BC.
Pansus, katanya, berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang ada telah mengindikasikan Boediono dan Sri Mulyani melakukan pelanggaran hukum dan kebijakan untuk memuluskan kebijakan bailout Bank Century.
"Mungkin benar keduanya (Boediono-Sri Mulyani) tidak menerima uang, tetapi sangat mungkin akan mendapatkan keuntungan non-finansial dari kebijakannya tersebut," kata Hendry dengan nada tinggi.
Menurut Hendry, cerita yang terus diulang-ulang yang menyatakan Boediono dan Sri Mulyani adalah sosok yang bersih dan reformis merupakan senjata pamungkas dari pemerintah untuk bisa bertahan.
Hal itu juga sebagai upaya kelompok pendukung Boediono-Sri Mulyani untuk mempertahankan paradigma.
"Yang menjadi pertanyaan sekarang, benarkah Boediono dan Sri Mulyani kinerjanya sangat luar biasa sehingga pelanggaran dalam kebijakan publik harus dimaklumi," kata Hendry.
Menurut Hendry, saat Boediono menjadi Gubernur Bank Indonesia telah ikut menelorkan kebijakan BLBI yang merugikan anggaran negara paling tidak selama 30 tahun.
Sementara saat menjadi Menkeu, Boediono telah membiarkan terjadinya privatisasi dan mengeluarkan kebijakan release and discharge, yang merugikan negara.
"Saat menjadi Menko Perekonomian, kebijakan yang diambil Boediono telah mengabaikan sektor riil," kata Hendry.
Sementara kinerja Menkeu Sri Mulyani, menurut Hendry, sebelum kesalahan kebijakan dalam kasus Bank Century terbuka, tidak sekinclong imagi yang diciptakan.
"Tugas utama Sri Mulyani sebagai Menkeu adalah mengelola APBN. Apa yang terjadi selama lima tahun APBN naik hampir tiga kali lipat, tetapi kesejahteraan masyarakat tidak juga meningkat," kata Hendry.
Sementara, pengelolaan belanja APBN masih sangat lemah sehingga realisasinya menumpuk di belakang, sehingga mengurangi kemampuan stimulusnya.
"Kelemahan ini akhirnya menghasilkan SILPA yang besar. Di sisi lain selama Sri Mulyani menjadi Menkeu APBN semakin dibiayai dengan high cost debt," kata Hendry.
Hendry menjelaskan SBN bruto yang pada tahun 2004 hanya sebesar Rp 32 triliun, terus meningkat dan tahun ini hampir mencapai Rp 180 triliun.
"Dengan rekam jejak seperti itu, apakah pantas kinerja Boediono dan Sri Mulyani dibilang sukses dan kinclong," ujarnya.
"Dengan track record di atas, apakah layak untuk dikatakan bahwa Boediono dan Sri Mulyani telah berhasil mengelola ekonomi Indonesia dengan baik," kata Hendry.
Artikel Ini Dikutip Dari : www.news.yahoo.com